Memantaskan

Beberapa tahun lalu, saat saya ingin meniatkan diri untuk menikah, yang kemunculannya lebih karena bayangan kesenangan semata. Berkenalan dengan Salim a Fillah lewat karya dan rekaman videonya di youtube. Membaca dan mengikuti tutur kata beliau ternyata menjadi motivasi yang tumbuh alami, memadu dengan usia yang memang sudah pas untuk beranjak kala itu.

Kini -meski status belum berubah- paling tidak saya sedikit tau, menikah tak melulu tentang mesranya berjalan bersama pasangan, menceritakan roman yang membuncahkan cinta atau mendongengkan kisah seperti apa indahnya berjalan menemukan masa depan bersama. Dulu, yang terbayang hanya indahnya saja. Padahal indahnya rumah tangga yang nampak tak melulu menjadi cerminan sakinah, mawaddah, warahmah.

Lalu, saya pun merasa betapa telatnya mempersiapkan diri untuk menikah, soal ilmu dan finansialnya. Barulah saya tau bahwa siap dan kesiapan dalam menikah adalah dua hal yang berbeda, nyatanya memiliki niat saja belum cukup, ia harus beriringan dengan tekad dan komitmen yang semuanya dilakukan tidak semaunya saja, melainkan dengan se-benar benarnya proses dan usaha untuk memantaskan diri, berbenah agar lebih baik dan layak untuk melangkah lebih jauh. 

Pernikahan barangkali adalah fasilitas yang Allah hadirkan agar kita mampu menjaga kesucian, menaati ikatan lahir batin dengan pasangan, lalu menguatkan kecenderungan hati dan pikiran, hingga lahir ketentraman sejati kala bersama maupun berjauhan. Itulah Sakinah yang berulang ulang dijelaskan Salim a Fillah dalam nasehat nasehatnya. 

Menikah, adalah jembatan agar kita sama sama terhindar dari perbuatan keji dan munkar, menjaga kesucian, mengingat Allah kala hati bergemuruh pada keburukan hingga timbul ketenangan dari kesucian yang membuat hati menjadi tenang, tunduk patuh pada ketentuan, aturan dan batasan sebagai seorang muslim.



Ada persiapan saat akhirnya kita membulatkan tekad untuk menikah, paramater siap yang bisa kita jadikan ukuran apakah kita memang sudah benar benar siap untuk melangkah, menembus tirai keraguan, mendaki tebing ketakutan, lalu berdiri diatas puncak keyakinan tanpa sedikit pun rasa khawatir karena yakin bahwa Allah akan selalu membersamai.

Mempersiapkan ruhiyah, mengubah diri untuk melunakkan ego, mau berbagi dan lebih banyak berlapang dada kala masalah melanda, lalu lebih bertanggung jawab dari biasanya.

Mempersiapkan ilmu, kepahaman agama, komunikasi pada pasangan nantinya, ilmu menjadi orangtua saat waktunya tiba agar lahir generasi terbaik yang mampu menggetarkan zaman dengan kebaikan. Lalu ilmu menata ekonomi juga ilmu ilmu lainnya yang saling melengkapi.

Mempersiapkan fisik, kebersihan diri, berikhtiar mengobati sakit, termasuk memastikan kehalalan makanan yang di konsumsi dan hal lainnya yang barangkali lebih elok kalau kita meniatkan untuk mencari tau sendiri. 

Lagi lagi, ternyata menikah tak sesederhana yang terbayangkan dulu. Ia menuntut untuk bersiap menerima seseorang yang asing dalam hidupnya, baik dan buruknya, sepenuh hati, menuntunnya, memahami hingga sama sama mengerti bahwa Allah menakdirkan baik dan buruk dalam fragmen hidup kita. Hingga saat buruk melanda ia tak lupa betapa selalu ada kebaikan yang mengiringi duka, dan tak terlena saat suka datang berlama lama karena duka setia menanti menunggu bertamu.

Pada titik inilah kita belajar untuk sadar, barangkali ada dosa tertawan yang masih menghalangi kebaikan kebaikan untuk hadir menyapa. Bersabar, menundukkan sujud lebih lama dari biasanya, bercucuran air mata lebih deras dari biasanya, hingga Dia mendekap mesra lewat jawaban do'a - do'a dan harap yang tulus terucap. Bila belum terkabulkan, barangkali Dia merindukan mesra dan romantisnya kita yang sudah sekian lama tak merajuk penuh harap.

Dalam perjalannya mempersiakan dan bersiap juga berarti menjaga hati agar semakin hati hati, menjaga niat agar selalu bulat, menjaga tekad agar tak berpaling dari kesungguhan yang kuat. Lalu pasrah, tunduk patuh pada setiap kejutan dan ketentuanNYA. Memahami bahwa yang dekat belum tentu semakin dekat dan yang jauh tak melulu berakhir dengan semakin menjauh. 


Kalau, hari ini merindu adalah dosa yang menyakitkan. Biar nanti ia menjadi harum yang Allah pun ridho dan memberkahinya. Saksikanlah.


2 comments:

  1. Ga abstrakko Dod. Tulisan Dodi itu bernas, nan memusingkan ala Salim A. Fillah yang suka bikin saya menegerenyit kalau membacanya. Nah, semoga dimudahkan Dod! Yeeay...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hatur nuhun a Rama untuk do'a dan komennya :D

      Delete