Perca


Masa lalu,masa yang setiap lembarnya adalah...

Maghrib itu, saya melihat masjid dengan tatapan malas meski shaf di dalamnya sudah rapi dan nampak hampir sempurna. Sementara tangan kanan saya masih erat memegang al-Qur’an, peci hitam masih tetap setia menjadi penghias di atas kepala, dan tubuh tetap mematung di pinggiran jalan seperti orang kebingungan. Saya mencari orang dengan sarung khasnya itu, dan nampaknya dia tidak ada. Saya berbelok ke kiri, setengah berlari seperti pemangsa yang melihat buruannya, guru ngaji gak ada. Selang beberapa menit stik playstation sudah menggantikan posisi al-Qur’an. Winning eleven, mode master league, sedang saya mainkan ketika kuping sebelah kanan tiba- tiba terasa panas.

Oh tidak, bapak rupanya hadir di waktu yang sangat tidak tepat, dan jemarinya yang setiap waktu bercerita tentang sejarah hidupnya menyeret saya keluar, disusul dengan sekali tamparan yang meski tidak begitu keras tapi hingga hari ini masih saya ingat. Itu saat saya kelas 4 SD. Tamparan yang membuat saya berlari sekali lagi ke masjid, lalu duduk di sebelah teman yang curiga pada pipi kiri yang merah padam. Merah padam yang akhirnya menuntun untuk memulai membaca isti’adzah sebagai pembuka ngaji malam kala itu. Ternyata guru ngajinya ada, tapi tadi kenapa gak keliatan?.

Urutan kisahnya memang saya lupa,

Sore itu, hari ke sekian kalinya dalam hitungan saya saat wali kelas datang ke rumah membawa kabar luar biasa. Saya sudah bolos sekolah sekian lama hingga saya sendiri lupa sudah belajar apa saja di sekolah.

Dan, bapak berkeliling komplek hingga ba’da maghrib, gara-gara sendal jepit yang tertinggal di luar ditambah info dari seorang teman akhirnya ia menemukan saya. Di lantai dua sebuah rumah, dimana fathur mengajarkan saya arti solidaritas, saat yang lain tak memikirkan. Yah, mungkin memang solidaritas yang salah tempat. Kali ini tidak ada tamparan, hanya raut kekecewaan dari ummi dan bapak pada anaknya yang kata wali kelas saya itu, 25 hari saya tidak masuk sekolah di penghujung catur wulan 3 kelas 4. Padahal hingga hari ini saya masih yakin seharusnya saya bolos 30 hari. mungkin saya salah hitung.

Saya tidak tau apa yang membuat wali kelas saya itu mau memperjuangkan saya hingga saya masih bisa terus sekolah setelah itu, mungkin tanggung jawab dan pertimbangannya yang lain membuat ia mempertaruhkan dirinya sebagai jaminan agar saya tidak dikeluarkan dari sekolah.

Seingat saya, kami sama sama menangis ketika ia mengajak saya berbicara empat mata di sela jam pelajaran. Tangisan hari itu adalah airmata kasih sayang seorang ibu wali kelas pada muridnya, dan tangisan saya adalah sebuah penyesalan. Mengingat betapa baiknya ia yang selalu memberikan hadiah makanan ringan pada muridnya yang berani maju duluan untuk setor hafalan surah pendek atau hadits, meski hari ini banyak hadits yang saya lupa, banyak ayat yang sering tertukar. Tapi kebaikan ibu wali kelas kala itu tidak akan terlupa atau tertukar.




Ketika saya naik ke atas panggung membacakan puisi atau ayat dari surah tertentu dalam al-Qur’an yang menjadi tradisi kami di sekolah dalam kegiatan kenaikan kelas, mungkin itu terakhir kalinya saya melihat ibu wali kelas mengajar di sekolah. Setelah itu, entah mengundurkan diri atau entah apa alasannya dia tidak lagi mengajar di sekolah ini. Saya sangat merasa bersalah, merasa bersalah? ahhh naif bukan jika setiap manusia selalu begitu tanpa mau merubah dirinya.


Di raport cawu 3 kelas 4, saat sedikit cerita menjadi kisah tidak biasa. Ibu wali kelas menulis pesan;

bimbingan dan perhatian orangtua masih terus diperlukan dalam membentuk sikap perilaku ke arah yang lebih baik

Disitu juga tertulis,
Diberikan di   : Bogor
Tanggal          :  30 juni 2001

ITU Sebelas tahun lalu.

Sekarang, meski saya tidak bisa menangis lagi seperti hari itu, tidak bisa lagi berteriak dalam kelas saat mendapat nilai bagus, tidak bisa lagi menjabat tangan ibu wali kelas karena jika bertemu ia selalu menjaga jarak dengan lelaki yang bukan mahramnya. Ia jelas telah melihat saya tumbuh di luar pandangannya, di luar pengawasannya. Meski begitu kisah 11 tahun lalu itu membuat saya berani berbeda. 

Hari ini sabtu tengah malam. saya mengingat kenangan itu dan menumpahkannya dalam tulisan sebagai bentuk penghormatan murid pada gurunya. Tentang sebuah kenangan yang membuat saya berani bersikap, tidak mengikuti teman dan kakak kelas  yang melanjutkan ke MTS setelah lulus MI , tetapi memilih SMPN 1 ciomas dimana saya kembali menemukan kisah yang luar biasa tentang pembentukan karakter dan mental, hingga itu semua menggiring saya ke SMAN 6 dan BSI Bogor.

Masa lalu ini bukan keluar begitu saja seperti orang yang meratapi hidupnya, masa lalu ini muncul untuk sebuah penghormatan pada impian yang pernah kehilangan benang merahnya, meski benang tak mampu menjadi kain lagi, hanya perca yang compang camping, tapi bukankah perca perca itu...
Indah.

Ibu wali kelas, semoga selalu disayang Allah.

No comments:

Post a Comment