
Seorang kakek tersenyum sinis saat hujan mulai turun, sekali lagi ia tersenyum menantang langit. Dalam hatinya ia berteriak "mengapa tak kau bunuh saja aku Tuhan!?".
Dia masih berdiri di depan gubuknya yang paling indah, surganya. Sementara gedung-gedung tinggi menjulang dengan cakarnya yang merobek langit, menatap dengan ribuan mata angkuhnya. Menantang. Membuat sang kakek semakin kerdil dalam tubuhnya yang lusuh. kasihan.
Perlahan ia melangkah menyusuri bongkahan besi tua yang tersusun rapi. Satu, dua, tiga... entah berapa banyaknya. Banyak sekali. Besi yang menjadi saksi bisu perisitiwa kelam dalam hidupnya, ah tidak bukan hanya hidupnya tapi juga hidup ratusan orang disini, di pinggir rel kereta.
Dia masih berdiri di depan gubuknya yang paling indah, surganya. Sementara gedung-gedung tinggi menjulang dengan cakarnya yang merobek langit, menatap dengan ribuan mata angkuhnya. Menantang. Membuat sang kakek semakin kerdil dalam tubuhnya yang lusuh. kasihan.
Perlahan ia melangkah menyusuri bongkahan besi tua yang tersusun rapi. Satu, dua, tiga... entah berapa banyaknya. Banyak sekali. Besi yang menjadi saksi bisu perisitiwa kelam dalam hidupnya, ah tidak bukan hanya hidupnya tapi juga hidup ratusan orang disini, di pinggir rel kereta.
sebuah tragedi pilu, cerita tentang bintaro...
No comments:
Post a Comment